jam

الأحد، 13 يناير 2013

Jangan Jadi Bebek

Jangan Jadi Bebek



AWAL tahun 90-an secara ‘berani’ dua orang ‘tukang ramal’ kelas dunia, John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam kitab andalannya, Megatrends 2000 memberikan gambaran tentang model kehidupan awal abad 21. Menurut dua orang futurolog ini, dunia ketiga akan menjadi ‘santapan’ negara-negara maju. John dan Patricia seolah ingin memaparkan bahwa senjata yang dipakai negara maju untuk melumat penghuni dunia ketiga bukan lagi rudal berkepala nuklir atawa rudal yang dilengkapi senjata biologis, karena itu tak cukup efektif. Justru sebaliknya, negara maju menggunakan senjata yang sangat lunak, bahkan nyaris tanpa kesan garang, namun akibatnya bisa membuat ‘sinting’. Apa senjatanya? John dan Patricia menuliskan formula 3F alias Food, Fashion, and Fun. ‘Virus’ inilah yang bakal merusak sistem tata nilai manusia penghuni dunia ketiga.
Tak mengada-ngada rupanya, dua orang ‘dukun’ yang kelihatannya lebih ‘sakti’ dari seluruh paranormal negerinya Wiro Sableng ini ramalannya ternyata tokcer. Penghuni dunia ketiga—yang di dalamnya masuk Indonesia—lebih mudah nyetel dengan formula tersebut. Kita tahu, ‘virus’ 3F membawa pengaruh yang sangat berbahaya. Tak tanggung-tanggung tiga jenis budaya ini telah menjelma menjadi sebuah ideologi. Nggak heran pula bila serbuan budaya pop itu mudah menggoda remaja. Karena remajalah, makhluk paling berpotensi tertular ‘virus’ ini.
Food made in Eropa dan Amerika begitu mudah ‘tune in’ dengan lidah ‘keturunan’ Wali Songo ini. Karuan saja, produk-produk fast-food lebih cepat ludes ketimbang jajanan macam ‘roti sumbu’ alias singkong. Lucunya, remaja lebih merasa pede bila nongkrong di resto sekelas A&W atawa McDonald’s ketimbang di Warteg yang mungkin merupakan sebuah ‘kutukan’. Soal halal dan haram? “Ah, itu sih nomor sekian, yang penting keren dulu!”
Bicara dandanan alias Fashion, ‘virus’ inipun nggak kalah garang, meski berlindung di balik ‘kelembutannya’. Busana model swimsuit, tang-top, bikini dan seabrek busana pemicu adrenalin kaum Adam sangat mudah dilihat. Everywhere-everytime. Menutup aurat? “Ah, udah nggak jamannya lagi, Non!” begitu kira-kira komentar para remaja putri yang mulai pecicilan ini. Pokoke, di Milan digelar peragaan busana hasil rancangan Gianni Versace, nggak nyampe seminggu di Malang sudah banyak yang pake, meski cuma buatan lokal. Walhasil, pemakainya tak peduli lagi soal hukum menutup aurat.
Selanjutnya, bicara tentang fun alias hiburan, juga bakal bikin kita ‘kegerahan’. Gimana nggak, dari mulai film, bacaan, sampai nyanyian sarat dengan pesan-pesan kehidupan Barat. Dan seringkali hiburan berubah menjadi ancaman. Gaya hidup bebas gaul misalkan, begitu mudah kita dapatkan di televisi lewat film-film yang ditayangkannya, atau diselipkan lewat alunan musik dan lagu romantis yang diiringi video-klip yang nggak kalah senewen. Celakanya, musisi negeri ini ternyata latah juga. Walhasil, rusaklah semuanya.
Tentu, kita semua nggak ingin menyaksikan kawan-kawan dekat kita, tetangga kita, atau malah saudara kita terjun ke dalam lingkaran kerusakan moral yang jelas-jelas cuma mengukir dosa. Menyaksikan kebejatan ini tentu bukan cuma cukup mengelus dada dan menggelengkan kepala saja, tapi harus ada tindakan kongkrit membendung kerusakan tersebut. Untuk itulah, meski cuma ‘sedikit’ yang ada dalam buku kecil ini, namun setidaknya diharapkan bakal mampu membuka wawasan kita tentang kehidupan remaja. Stop! Bukan hanya mengungkap fakta, tapi sekaligus memberi solusi islami.
Mungkin merasa bosan dengan kenyataan di depan mata kita, namun bukan berarti kemudian kita lari dari kenyataan tersebut. Gagal biasa, tapi terus berusaha, itu yang luar biasa. Insya Allah, buku ini adalah upaya serius penulis untuk memberikan semacam ‘tuntunan’ bagi rekan-rekan remaja. Dan mengingat remaja rada-rada ‘ogah’ digurui, maka buku inipun mencoba mendekati remaja dengan ‘bahasa’nya.
Terus terang saja, sudah banyak remaja yang menjadi plagiator budaya Barat, gara-gara salah menyikapi budaya pop-nya yang menjadi trend saat ini. Bukan barang baru untuk dibicarakan tentunya, kasus-kasus seperti narkoba, seks bebas dan seabrek gaya hidup salah made in Barat (Amerika dan Eropa) yang memang sudah menjadi ‘agama’ baru bagi remaja negeri ini. Tapi juga nggak perlu boring untuk membahasnya dan mencari kunci penyelesaian.
Tulisan-tulisan dalam buku ini adalah hasil modifikasi beberapa tulisan dari Buletin Remaja Studia yang penulis kelola di Bogor sejak awal tahun 2000. Besarnya minat remaja akan tulisan tentang Islam menjadikan penulis ingin “mempermaknya” dalam sebuah buku yang relatif lebih “awet”. Pengalaman penulis selama bergabung di Majalah Remaja Islam (MRI) Permata–yang juga pernah menjadi trendsetter bacaan remaja Islam—semakin membuat penulis percaya diri untuk membukukannya.
Dan alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt. yang telah memberikan kemudahan dalam penyusunan buku ini. Penulis juga mengakui, bahwa dalam penyusunan buku ini, banyak pihak yang terlibat, baik secara langsung maupun tidak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Ust. Anwar Iman, “bos” Buletin Studia yang telah membantu dalam proses editing dalil-dalil syara’-nya. Salam hormat dan terima kasih penulis sampaikan pula kepada Kang Hari Moekti yang telah menyediakan waktu luangnya untuk memberikan pengantar pada buku ini. Tak lupa, ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada sahabat dekat penulis, yakni saudara M. Iwan Januar yang telah bersedia mengedit seluruh tulisan dalam buku ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua pihak yang tak bisa disebutkan satu persatu dalam pengantar ini, tentu atas semua kerjasamanya selama proses pembuatan buku ini.
Terakhir, seperti kata pepatah, “tak ada gading yang tak retak”, masukan dan kritikan dari pembaca atas tulisan-tulisan di buku ini sangat penulis harapkan. Selamat membaca!
Bogor, Mei 2001
O. Sholihin

ليست هناك تعليقات:

إرسال تعليق